Sampah dan Pendapatan Kota Palembang

 


Rio Solehuddin ST *Direktur Bumi Bahari
(Seri kedua dari dua tulisan; selesai)

Membakar sampah untuk menghasilkan energy listrik adalah hal berbeda dengan membakar sampah yang tidak ramah lingkungan, setelah melalui proses reduce, reuse, recyle sampah terpilah jelas semakin bermasalah apabila tidak di hancurkan, dan bila melalui proses alami butuh waktu puluhan tahun untuk musnah. Proses thermal/pembakaran dengan incinerator ber teknologi plasma ramah lingkungan sebagai metoda Pengelolaan Sampah menjadi Energy Listrik adalah jalan keluar Indonesia untuk mengakhiri krisis sampah.

Sampah merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang sebagai hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi, membawa dampak pada pengelolaan sampah. Di sebagian besar kota, pengelolaan sampah masih menjadi permasalahan yang sulit diselesaikan. Seringkali masyarakat hanya membuang sampah jauh-jauh dari sumbernya tanpa diolah. Di sisi lain, pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah hanya fokus pada pengumpulan dan pengangkutan ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) tanpa melalui pengolahan tertentu. Akibatnya sampah hanya menumpuk di sudut-sudut kota.

Sampah yang menumpuk saja dapat membawa dampak yang buruk pada kondisi kesehatan manusia dan lingkungan. Bila sampah dibuang secara sembarangan atau ditumpuk tanpa ada pengelolaan yang baik, akan menimbulkan berbagai dampak yang lebih serius. Terjadinya bencana (ledakan gas metan, tanah longsor, pencemaran udara akibat pembakaran terbuka dan lain-lain) merupakan akibat dari pengelolaan sampah yang belum dilaksanakan dengan baik. Sampah kota, sebenarnya tidak selalu menjadi sumber masalah apabila dikelola dengan baik. Jumlah sampah kota yang semakin besar seiring dengan perkembangan jumlah penduduk, bahkan dapat menjadi sumber ekonomi dan pendapatan bagi masyarakat kota, seperti pengelolaan sampah organik di tingkat RT atau RW.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Februari 2019, merilis bahwa saat ini Indonesia menghasilkan sedikitnya 64 juta ton timbunan sampah setiap tahunnya. Berdasarkan data tersebut, sekitar 60 % sampah diangkut dan ditimbun ke TPA, 10 % sampah didaur ulang, sedangkan 30 % lainnya tidak dikelola dan mencemari lingkungan.
Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang disertai peningkatan daya beli masyarakat Indonesia, membuat gaya hidup yang lebih konsumtif sehingga menghasilkan lebih banyak sampah. Dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) di Indonesia pada tahun 2020 ada 33.186.583,20 ton/tahun timbulan sampah, dimana sampah terkelola sebesar 58,47 % dan sampah tidak terkelola 40,53 %.

Perhatian masyarakat terhadap pengelolaan sampah semakin besar ketika kasus-kasus pencemaran dan ancaman kesehatan manusia akibat dampak pengelolaan sampah yang buruk semakin luas terekspose, terutama penanganan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Kasus gerakan anti keberadaan TPA, pencemaran lingkungan, dan longsoran sampah muncul di beberapa tempat, seperti TPA Bantar Gebang Bekasi, TPA Benowo Surabaya, TPST Bojong di Kabupaten Bogor, dan puncaknya adalah longsornya TPA Leuwigajah di Cimahi yang mengubur hidup-hidup lebih kurang 140 jiwa manusia. Bencana tersebut menjadi sejarah kelam dalam pengelolaan sampah di Indonesia yang kemudian diperingati sebagai Hari Peduli Sampah. Bencana tersebut menandai kegagalan sistem pengelolaan sampah di Indonesia yang selama 3 (tiga) dasawarsa terakhir dijalankan, bertumpu pada landasan filosofis bahwa sampah adalah sesuatu yang tidak berguna dan hanya layak untuk dibuang. Pola pengelolaan sampah yang dilaksanakan hanya menggunakan pola pendekatan pragmatis end of pipe, dimana seakan-akan persoalan sampah dapat diselesaikan dengan membangun TPA saja.

Dalam hal pengelolaan sampah yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan, dan untuk mengurangi volume sampah secara signifikan demi kebersihan dan keindahan kota serta menjadikan sampah sebagai sumber daya, Presiden RI Ir. Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Perpres ini dimaksudkan untuk dapat mengatasi beberapa masalah Pemerintah Daerah yang terkait jumlah volume sampah perharinya sudah memasuki ambang mengkhwatirkan terhadap pencemaran lingkungan hidup, dan sekaligus sebagai program Proyek Strategis Nasional (PSN). berikut ini nama-nama Pemerintah Daerah tersebut Provinsi DKI Jakarta, Kota Makasar, Kota Denpasar, Kota Manado, Kota Palembang, Kota Bekasi, Kota Tanggerang, Kota Tanggerang Selatan, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakata, dan Kota Subaraya. Dalam proses percepatan pembangunan PLTSa atau Pembangkit Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL), pada pasal 6 disebutkan Gubernur atau Walikota dapat : a. menugaskan Badan Usaha Milik Daerah atau b. melakukan kompetisi Badan Usaha. Dihampir seluruh pemerintah daerah terkait percepatan pembangunan PSEL ini menggunakan Badan Usaha yang ditetapkan dari kompetisi Badan Usaha atau mekanisme perjanjian kerja sama sebagai Pengelola Sampah dan Pengembang PLTSa, pada akhirnya banyak terdapat kendala didalam tahapan kerja-kerjanya, walau kondisi pandemic covid-19 ditahun 2020 sangat mempengaruhi pelaksanaan dari Perpres tentang percepatan pembangunan PSEL berbasis teknologi ramah lingkungan ini ada beberapa Pemerintah Kota yang telah rampung membangun PSEL ini seperti Kota Surabaya yang telah mendirikan PSEL di TPA Benowo dan telah diresmikian oleh Presiden RI Ir. Joko Widodo pada bulan Mei 2021 dan kemudian Kota Surakarta yang telah melakukan tahapan konstruksi 35% pada PSEL nya di TPA Putri Cempo dan akan rampung pada tahun 2022. Kemudian Makasar, Bekasi, Denpasar, Bandung, Tangerang Selatan yang dalam proses tender untuk mencari pihak ketiga. Semarang yang sudah rampung proses tender nya dan Palembang yang sedang dalam proses pendampingan khusus terkait revisi perjanjian kerjasamanya.

Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik

Perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga PT.Indo Green Power telah dilakukan dari tahun 2018 akan tetapi terkait perubahan Perpres Nomor. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar. menjadi Perpres Nomor. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, perlu dilakukan penyesuaian. Dimana point khusus penyesuaian didalam perjanjian kerja sama terkait Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp.1,8 Triliun untuk pembangunan PSEL yang dibahas Pemerintah Kota Palembang bersama Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi yaitu terkait jaminan pelaksana, tempat proses arbitrase, pembayaran BLPS, dan kesepakatan minimal volume sampah yang mampu disuplai Pemerintah Kota Palembang.

Dalam hal minimal volume sampah yang mampu disuplai Pemerintah Kota Palembang, secara rumus BPS dalam menentukan jumlah sampah adalah 0,7 % x jumlah jiwa maka didapat untuk Kota Palembang jumlah penduduknya dari data BPS pada tahun 2020 sebanyak 1,6 juta jiwa x 0,7 % maka didapat jumlah sampah perhari sebesar 1.120 ton. Jumlah ini adalah hitungan kasar karena dari total sampah tersebut ada aktivitas pengelolahan dari rumah ke TPS sebesar 15% dan losses 5% untuk sampah yang dibuang masyarakat ke paret, sungai kecil dan lainnya. Jadi bisa ditebak sampah perhari masyarakat kota Palembang yang mampu diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir sebesar ± 896 ton. Estimasi sampah yang terangkut ke TPA menjadi catatan penting bagi PT. Indo Green Power dalam menghitung break even point atau hitungan kembali modal terhadap nilai investasi yang telah dilakukan hingga mengkakulasi keuntungan yang didapat dari sekian tahun Perjanjian Kerjasama dilakukan. Semakin cepat kembali modal maka semakin besar keuntungan yang didapatkan terhadap investasi yang dilakukan, rasionalitas kalkulasi PT. IGP terhadap keuntungan dengan menyediakan insenerator berkapasitas bahan baku sampah perhari sebanyak 1000 ton dapat menghasilkan listrik sebanyak 12 megawat = 12.000 kWh, harga PLN didalam Perpres 35 Tahun 2018 untuk membeli listrik dari PLTSa atau PSEL sebesar 13.35 cen/kWh karena besaran sampai dengan 20 MW (Pasal 11 point a). untuk 13.35 cen dollar AS /kWh itu setara dengan Rp. 1.800/kWh, jadi bisa dihitung 12.000 kWh x Rp.1.800 = Rp. 21.600.000 pendapatan dalam sehari, Rp.648.000.000 pedapatan selama sebulan dan Rp. 7.776.000.000 pendapatan kotor selama setahun. Untuk PSEL sebesar 12 Megawatt ada 30.000 pelanggan kapasitas daya 900 KVA yang dapat di layani. Stock sampah yang berjumlah ribuan ton dan sudah ada di TPA Sukawinatan Kota Palembang bisa jadi modal awal terhadap analisa ekonomi terhadap kebutuhan pihak PMA dalam pengelolaan sampah menjadi energi listrik di Kota Palembang.

Sampah kota dapat diubah menjadi sumber energi terbarukan untuk menghasilkan listrik dengan menggunakan cara gasifikasi, pyrolysis, dan incinerator. Dalam hal teknologi PSEL di Kota Palembang yang dipilih yaitu mengutamakan incinerator sebagai alat dan metoda insinerasi atau pembakaran sampah adalah teknologi pengolahan sampah yang melibatkan pembakaran bahan organik. Insinerasi dan pengolahan sampah bertemperatur tinggi lainnya didefinisikan sebagai pengolahan termal. Insinerasi melalui konversi termal langsung pada sampah melalui pembakaran dengan kadar oksigen tinggi, pada suhu di atas 850 °C, sampah diubah menjadi panas yang digunakan untuk memanaskan air dalam boiler untuk menghasilkan uap. Uap dapat di distribusikan untuk dijual (biasanya kepada manufaktur industri/ kimia) atau dapat dikonversi menjadi listrik melalui turbin uap (efisiensi untuk menghasilkan listrik berada di kisaran 18% – 27%) untuk pembangkit dengan ukuran 25.000 sampai dengan 600.000 ton per tahun teknologi tersebut juga memproduksi residu sampah berupa abu, abu boiler, abu terbang, dan residu scrubber dari operasi pembersihan cerobong gas.

Insinerasi dengan alas bergerak/conveyer belt adalah teknologi yang sudah terbukti keandalannya untuk pembakaran sampah sehingga teknologi ini lebih tepat untuk diterapkan. Di Indonesia, teknologi ini sendiri cukup sederhana, dengan permasalahan utama terletak pada pengoptimalan panas dan pemulihan energi serta minimalisasi emisi hasil insinerasi. Sampah yang belum dipilah dapat langsung dimasukkan ke pembakaran sampah tanpa perlu dipilah terlebih dahulu. Meskipun kadar air yang tinggi dalam sampah Indonesia akan mengurangi efisiensi termal jika dibandingkan dengan apa yang dicapai di Eropa, pengoperasian insinerator harus dijaga dalam suhu operasi kritis. Apabila suhu lebih rendah, senyawa beracun organik volatil (VOC) yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan tidak terurai sempurna, serta emisi gas pembangkit akan melanggar aturan standar keamanan nasional. Untuk mencapai dan mempertahankan suhu operasi minimum yang aman, di saat volume aliran sampah mungkin rendah dan/atau memiliki kadar air yang tinggi, diperlukan bahan bakar tambahan. Hal ini dapat menyebabkan metode pengolahan sampah yang seharusnya murah menjadi sangat mahal, dan untuk gas buang insinerator masih membutuhkan perawatan dengan sistem pendinginan gas dan scrubber untuk menghilangkan dioksin karsinogenik berbahaya. Sistem pengolahan gas buang ini memakan biaya yang cukup mahal dan membutuhkan pengoperasian dan pemeliharaan yang hati-hati.

Pengelolaan Limbah Medis Fasyankes

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Karya Jaya dengan luasan ± 40 Ha, untuk luasan 25 Ha dapat digunakan sebagai TPA Sanitasi (Sanitisasi Lanfill) untuk dapat menunjang pembangunan Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) sebagai bentuk perwujudan dari Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 yang tujuan utamanya adalah memecahkan permasalahan sampah di perkotaan yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan dan kebersihan dengan bonus energy listrik sebagai peningkatan kesejahteraan, terutama pendapatan Pemerintah Daerah nya. Sedangkan luasan lahan yang tersisa dengan mengunakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah dapat digunakan sebagai upaya pengelolaan limbah medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang seluruh tahapannya dilakukan di suatu wilayah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Melihat jumlah rumah sakit tipe A, B dan C dan Puskemas yang begitu banyak di Kota Palembang maka potensi pengelolaan limbah B3 dengan melakukan kerjasama dengan perusahaan pengelola limbah B3 yang berpengalaman dan memiliki izin untuk melakukan pengelolaan limbah B3 didalam satu wilayah dengan meminimalkan risiko pencemaran lingkungan dan dampak kesehatan, penyalahgunaan limbah medis fasilitas pelayanan kesehatan, dan mengoptimalkan pengelolaan limbah medis fasilitas pelayanan kesehatan di suatu wilayah, dan tentunya biaya pengelolaan limbah B3 yang harus dikeluarkan oleh perusahaan atau usaha yang menghasilkan limbah b3 sebagai sebuah kewajiban.

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah atau Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik dengan mengunakan teknologi ramah lingkungan melalui system incenerasi adalah hal yang tepat untuk saat ini dalam mengatasi permasalahan sampah terutama di kota kota besar, seperti Palembang dengan jumlah penduduknya mencapai 1.670 jiwa (BPS, Palembang dalam angka 2021), walau tingkat terbesar dalam produksi sampah sebesar 50 % lebih adalah kosumsi rumah tangga yang kalori sampahnya dibawah 2000 kcal dengan mengunakan teknologi tambahan sebagai pembakar maka akan tetap dapat dijadikan solusi. Saat ini PSEL yang sudah beroperasi sebagai bentuk implementasi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 ada di Kota Surabaya dengan luas TPA 37,4 ha, dengan volume sampah 900 ton lebih perhari dan menghasilkan energi listrik sebesar 11 MW.

Pemerintah Kota Palembang saat ini sudah melakukan Perjanjian Kerja Sama dengan PT. Indo Green Power yang sudah bersedia melakukan Penanaman Modal Asing sebagai inventasi sebesar 1,8 Triliun harus didorong terwujud di awal tahun 2022 proses pembangunan nya, hal ini dimaksudkan untuk dapat memberikan jaminan kebersihan dan meminimalisir resiko pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sampah yang menumpuk, karena proses pemecahan permasalahan sampah dengan memperbanyak pembuatan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah metoda lama yang tidak memberikan jalan keluar terhadap pengetasan sampah itu sendiri, malah sebaliknya menambah masalah baru. Memang setiap usaha akan ada sisi lebih dan kurangnya, termasuk pembangunan PSEL juga memiliki kekurangan dalam hal masih ada potensi pencemaran lingkungan, akan tetapi ketika hitungan sisi lebih lebih domain dari sisi kurangannya maka hal tersebut masih dalam katagori layak. Kita sebagai manusia pun ada di Bumi ini juga memiliki beberapa sisi kurang terhadap lingkungan tempat kita berada, tetapi tetap kehidupan yang lebih baik dan layak akan menjadi tujuan utama kita sebagai manusia.

Check Also

Jaga situasi tetap kondusif, Badan Kesbangpol Gelar Rakor & Dialog di Kecamatan Muara Kelingi

MUSI RAWAS, Pilkada serentak tanggal 27 November 2024 tinggal menghitung hari, guna menjaga situasi tetap …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *