Oleh : Yadri Irwansyah
Akademisi (Peneliti Sejarah dan Budaya)
Jika Kota Palembang kini telah berusia 1338 tahun dihitung berdasar prasasti Kedukan Bukit (682 M). Kota Jakarta berusia 494 tahun dihitung ketika Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa (1527) dan Yogyakarta berusia 265 tahun dihitung dari Sultan HB I mendirikan keraton Jogja (1756).
Maka Kota Lubuklinggau saat ini telah berusia 171 tahun, dihitung ketika Depati Japar Ulak Lebar (tahun 1850) memindahkan pusat pemerintahan dan rakyatnya ke sebelah timur Ulak Lebar, yang kemudian diberi nama Lubuklinggau (Dusun Linggau).
Peristiwa itu secara historis menandai lahirnya Lubuklinggau sebagai sebuah pemukiman baru.
Pasca kekalahan dan kejatuhan Kesultanan Palembang tahun 1821, pemerintah kolonial Belanda menghapuskan dan mengganti sistem administrasi pemerintahan dari kesultanan menjadi Karesidenan. Wilayah Kesultanan Palembang dibagi menjadi dua, Karesidenan Palembang dan Karesidenan Bangka-Belitung, Kemudian menempatkan seorang Residen Belanda untuk memerintah di Palembang, yaitu Van Sevenhoven (1821-1824).
Pada tahun 1822 Belanda kemudian menunjuk Asisten Residen untuk mengurus daerah uluan Palembang. Namun pada saat itu, pemerintah kolonial Belanda masih belum menyusun administrasi pemerintahan, masih menggunakan sistem pemerintahan warisan Kesultanan Palembang.
Untuk melakukan konsolidasi sekaligus pemetaan wilayah daerah uluan, pemerintah kolonial Belanda mengutus tim ekspedisi untuk menjelajah daerah uluan, tahun 1825 rombongan tim ouder drucking expeditie di bawah pimpinan Muntinghe berhasil sampai di Muara Beliti (sekarang wilayah Kabupaten Musi Rawas). Mereka mencoba meneruskan perjalanan menelurusi tepi Sungai Kelingi sambil merintis rencana pembangunan jalan raya, akhirnya mereka tiba di pemukiman penduduk dusun Kayu Ara (wilayah Kota Lubuklinggau sekarang).
Dari informasi para elit tradisonal di Kayu Ara, Muntinghe memperoleh keterangan bahwa diseberang Sungai Kelingi di kaki Bukit Sulap sudah ada sejak lama sebuah daerah yang memiliki pemerintahan sendiri. Daerah tersebut bernama Ulak lebar yang dipimpin oleh seorang Depati/Pasirah.
Tujuan kedatangan Muntinghe ke Ulak Lebar tentu untuk memastikan kekuasaan kolonial Belanda yang baru saja menaklukkan Kesultanan Palembang, namun Depati Lang Gandus pemimpin Ulak Lebar sejak tahun 1824 hijrah ke Palembang untuk membantu perjuangan Pangeran Anom menentang kekuasaan Belanda atas Kesultanan Palembang.
Melihat kondisi yang menguntungkan tersebut Muntinghe membujuk salah satu elit tradisional di Kayu Ara agar bersedia di angkat menjadi Depati, untuk menggantikan kepala pemerintahan yang sedang kosong di Ulak Lebar. Kemudian diangkatlah seorang tokoh yang bernama Abun menjadi Depati (1825-1830). Masyarakat menyebutkan bahwa depati ini merupakan depati pertama pada pemerintahan Kolonial Belanda.
Tahun 1832 terjadi pergantian Residen di Karesidenan Palembang dari Van Sevenhoven (1830) diganti oleh Pectorius, kemudian diganti lagi oleh Overstede Braw. Pada tahun itu juga telah ditunjuk seseorang yang bernama Van den Bossche sebagai asisten Residen. Sementara itu di Ulak Lebar telah terjadi dua kali pergantian Depati, yaitu Depati Rawas (1830-1835), kemudian Depati Japar (1835-1855).
Hasil penjelajahan daerah uluan tersebut Belanda menemukan satu fakta bahwa daerah uluan Palembang sangatlah kaya akan sumber daya alam. Maka dari itu untuk memaksimalkan mengeruk sumber daya alam tersebut Belanda bermaksud membuat jalan raya dan jalan kereta api yang diperkirakan akan melalui daerah seberang sungai Kelingi. Untuk itu Belanda perlu memastikan bahwa proses pengangkutan sumber daya alam tersebut berjalan lancar dengan bantuan masyarakat sekitar.
Untuk itu Belanda memaksa Depati Japar untuk memindahkan rakyatnya dari Ulak Lebar ke tempat yang nanti akan dibangun jalan raya dan jalur kereta api.
Depati Japar awalnya menolak karena merasa berat hati meningalkan tanah leluhurnya. Namun akhirnya ia setuju dengan rencana Belanda tersebut, karna tentu dengan akses jalan raya dan jalur kereta api juga akan berdampak positif bagi rakyatnya.
Akhirnya pada tahun 1850 Depati Japar bersama seluruh rakyatnya pindah ke sebelah timur Ulak Lebar mengikuti alur Sungai Kelingi dan kemudian membuka pemukiman baru. Mereka bergotong royong menebas dan menebang semak belukar, kemudian mendirikan pondok-pondok, sebagian menggunakan bahan bangunan rumah mereka di Ulak Lebar dan sebagian lagi menggunakan bahan yang ada di pemukiman baru.
Di pemukiman baru tersebut kondisi sungai Kelingi yang cukup dalam terdapat sebuah Lubuk dan disekitar sungai tumbuh sejenis umbi-umbian yang disebut Ubi Linggau akhirnya pemukiman baru tersebut diberi nama Lubuklinggau (Dusun Linggau) .
Pada tahun 1854, Residen Palembang Van Den Bosche memberlakukan kembali Undang-undang simbur Cahaya yang merupakan warisan dari Kesultanan Palembang untuk menjadi pedoman bagi kepala marga di daerah Uluan termasuk Lubuklinggau. Berdasarkan undang-undang tersebut semua daerah yang berada dibawah kesatuan suku/hukum adat yang belum mempunyai marga harus segera dibentuk.
Akhirnya daerah-daerah seperti Lubuk Durian, Kayu Ara, Lubuk Tanjung, Lubuklinggau, Kandis, dan Batu Urip masuk kedalam Marga Sindang Kelingi Ilir (ilir berdasar alur sungai kelingi), kepala marganya berkedudukan di Lubuklinggau. Oleh sebab itu Lubuklinggau berstatus sebagai daerah tempat kedudukan kepala Marga Sindang Kelingi Ilir. nama sindang sendiri merupakan tempat pengawasan atau pintu-pintu strategis pada jalur sungai seperti Sindang Kelingi Ulu, Sindang Kelingi Ilir dan Sindang Lakitan.
Berdasar fakta sejarah tersebut didapat bahwa Lubuklinggau punya punya perjalanan sejarah yang cukup panjang, jauh sebelum Belanda membagi dan menyederhanakan wilayah Keresidenan Palembang menjadi 3 Afdeling pada tahun 1901 yang salah satunya Afdeeling Palembang Boven Landen meliputi (Onder Afdeeling Lematang Ulu, Lematang Ilir, Tebing Tinggi, Rawas dan Musi Ulu). Tahun 1850 atau 51 tahun sebelumnya Lubuklinggau telah berdiri sebagai sebuah pemukiman dan daerah yang memiliki pemerintahan sendiri.
Narasi sejarah yang tertulis dan berkembang selama ini di Lubuklinggau hanya dimulai ketika tahun 1929 saat Lubuklinggau menjadi Ibukota Marga Sindang Kelingi Ilir dibawah Onder Afdeeling Musi Ulu hingga akhirnya Lubuklinggau menjadi daerah otonomi baru lepas dari Kabupaten induk Musi Rawas pada 17 Oktober 2001.
Alhasil pemerintah Kota Lubuklinggau menetapkan dan memperingati hari ulang tahun Lubuklinggau hanya berdasar pada fakta tersebut. Namun belum melihat secara utuh proses dan fakta sejarah yang lebih legitimatif layaknya kota-kota lain di Indonesia. Sebenarnya jika dihitung dari tahun 1850 sejak Depati Japar memindahkan rakyatnya dan membuka pemukiman baru, maka usia Kota Lubuklinggau hari ini sudah 171 tahun.
Sumber :
Abu, Hanafiah. Undang-undang Simbur Cahaya (Jakarta: Depdikbud, 1994).
Hanafiah, Djohan. Kuto Besak: Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989).
Irwansyah, Yadri. Melacak Jejak Budaya Islam di Situs Megalitik Ulak lebar Kota Lubuklinggau, Disertasi Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2021.
Ismail, Arlan. Marga di Bumi Sriwijaya: Sistem Pemerintahan Kesatuan Masyarakat Hukum Daerah Uluan Sumatera Selatan (Palembang: Unanti Press, 2004).
J,L. Van Sevenhoven. Lukisan Tentang Ibukota Palembang (Jakarta: Bharata, 1971).
Nawiyanto, Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budaya (Jember: Tarutama Nuantara, 2016).
Pe De Roo la Faile, Dari Zaman Kesultanan Palembang (Jakarta: Bharata, 1971).
Syam, Suwandi. Sejarah Museum Subkoss Garuda Sriwijaya di Lubuklinggau, Yayasan Subkos Garuda Sriwijaya: 2012.