Nasionalis VS Islam (Simbol, Wacana dan Manipulasi Kuasa)

 

                        Yadri Irwansyah

         Candidat Doktor UIN Sunan Kalijaga

Retakan-retakan persatuan yang berdampak pada robeknya tenunan kebangsaan, akhir-akhir ini semakin melebar dan berada pada posisi mengkhawatirkan. Sebenarnya dari kerjernihan sanubari, kaki-kaki kebangsaan bisa kita tangkap degup keresahan, ketidakpuasan, rasa marah, sekaligus kehendak ingin bersatu masih kuat, namun karna kekeliruan dari manajemen kekuasaan, di beberapa titik kita jumpai patahan-patahan bangunan arsitektur kebangsan Indonesia.
Pembelahan politik di beberapa tahun terakhir ini, yang mempertontonkan pertarungan antara kelompok nasionalis versus Islam semakin mengkristal dan menjadi-jadi.

Menguatnya politik simbol yang menggunakan simbol-simbol keagamaan dan pertarungan wacana (Saya Pancasila, Saya Indonesia, Toleren dan Intorelan, Islam Moderat dan Islam Radikal) pasca Pilkada DKI 2017, Pilpres 2019, Kasus HRS, Wacana Pembentukkan Poros Partai Islam hingga yang terbaru soal penangkapan Munarman (eks FPI), menunjukkan gejala yang tak biasa. Tentu proses ini bukan satu hal yang sederhana (melibatkan relasi kuasa).

Untuk memahami mekanisme kerja dari setiap rezim politik, tidak hanya dilihat dan dianalisis dari praktik pengambilan kebijakan atau cara rezim mengatur penyelenggaraan negara saja. Tapi juga dapat dilihat dari pola-pola simbolik yang digunakan rezim politik, baik wacana yang diproduksi, tutur bahasa yang digunakan, hingga pada proses pencitraan yang menggambarkan respons terhadap persoalan-persoalan politik yang terjadi.
Simbol mengandung kekuatan untuk membentuk realitas. Kekuatan itu terdapat dalam proses penilaian dan pemaksaan ide-ide tertentu kepada objek yang menafsirkan simbol. Dalam dunia politik, operasi kerja simbol tak bisa dilepaskan dari struktur kuasa atau aktor politik yang berkepentingan mengkonstruksi realitas. Wacana Radikal dan Teroris misalnya, dipakai oleh negara untuk melabeli kelompok mana yang disebut Radikal /Teroris dan mana yang bukan. Radikal dan Teroris sebagai wacana simbolik dijadikan modal politik bagi pemerintah dalam mengesahkan dan merevisi UU terorisme yang memberikan payung hukum untuk melakukan praktik politik hingga penangkapan terhadap orang atau kelompok yang dikategorikan sebagai teroris.

Kekuatan simbol mampu menggiring siapapun untuk mempercayai, mengakui, atau mengubah persepsi hingga tingkah laku orang dalam bersentuhan dengan realitas. Benturan antara kelompok Nasionalis dan kelompok Islam yang semakin menguat akhir-akhir ini bukan tanpa sebab atau satu gejala yang alamiah. Wacana Radikal, Terorisme, dan Intoleransi sebagai wacana dominan tidak terlahir dari ruang hampa atau bebas dari kepentingan. Produksi wacana dilakukan secara sistematis dan terstruktur melibatkan media-media mainstream dan diwacanakan terus-menurus oleh aktor-aktor politik dan melibatkan para buzzer.

Akumulasi dari pewacanaan dan politisasi simbol tersebut tentu beririsan langsung dengan kepentingan ekonomi-politik, dimana terdapat kelompok yang turut mengambil keuntungan dari wacana Radikal, Teroris dan Intoleransi tersebut. Misalnya dengan semakin maraknya kelompok radikal, intoleran dibutuhkan satu badan pembinaan yang betugas membumikan kembali ideologi negara, penambahan anggaran di berbagai kementrian/instansi terkait serta penggunaan jasa buzzer yang tentunya semua pasti menguras uang rakyat.
Lebih luasnya lagi, simbol dan produksi wacana tersebut dapat digunakan sebagai pembenaran dari setiap tindakan pemerintah, menutupi kegagalan dalam pengelolaan negara dan sewaktu-waktu dapat digunakan untuk pengalihan isu atas peristiwa/kejadian yang tidak menguntungkan bagi kredibilitas pemerintah. Jika produksi wacana ini terus dibiarkan tentu berbahaya bagi demokrasi, semakin tercemarnya persatuan bangsa, akibat polusi yang disebabkan oleh limbah politik yang dapat mengancam ketahanan ekosistem kebangsaan.

Bangsa ini harusnya kembali melihat dan belajar dari sejarah, bagaimana para pendiri bangsa mendamaikan dan menyatukan berbagai kelompok politik dengan bijaksana, fokus dengan program pembangunan, pemulihan pasca pandemi, pengentasan kemiskinan dan peningkatan keamanan serta tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok separatis yang terang-terangan merongrong kedaulatan negara, bukan terus-terusan memproduksi wacana Radikal dan Intoleransi yang menimbulkan gesekan dan perpecahan di masyarakat.

 

Check Also

Kadisdikbud Lubuklinggau Firdaus Abky Buka Gelar Karya P5

  Lubuklinggau, Petisi Rakyat – Kepala Dinas Pendidikan & Kebudayaan Lubuk Linggau, Firdaus Abky, S.Pd, …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *