18 Tahun Pilkada Langsung Di Indonesia, Masih Relevankah Dengan Kondisi Bangsa Saat Ini??

Penulis : Dasril Ismail.SE.MM
Anggota KPU MURA 2014-2019

 

Pro kontra ada wacana mengembalikan pilkada ke mekanisme melalui DPRD sah-sah saja. Tapi ini sebaik terlebih dulu dibuka dan didiskusikan ke ruang publik. Apakah lebih besar manfaatnya, dari pada mudaratnya, lalu banyak sisi positif atau negatifnya,  apa solusi terbaik, apa yang harus kita lakukan terhadap perbaikan-perbaikan terhadap sistem pilkada yang ada.

Nantinya sebagai bahan kajian pemerintah dan DPR dalam memperbaiki dan mempebarui regulasi  yang terbaik yang tertuang undang – undang Pilkada itu sendiri. Sebab pemilihan kepala daerah tentunya hanya satu tujuan akhirnya, yaitu dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sehingga perlu dilakukan penelaah yang mendalam untuk mencari solusi pemilihan kepala daerah yang ideal.

Gagasan pengembalian Pilkada melalui mekanisme DPRD pernah dilontarkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada tahun 2019. Menurut Tito sistem Pilkada langsung harus dipertanyakan kembali relevansinya. Tito memaparkan bahwa system Pilkada langsung juga memberikan dampak negatif. Salah satunya adalah politik berbiaya tinggi yang rentan membuat kepala daerah melakukan korupsi. (kutipan berbagai sumber).

Baru-baru ini Ketua MPR RI Bambang Soesatyo ketika menerima Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) juga membahas ruang untuk melakukan kajian ulang mekanisme pilkada secara langsung. Tapi hal ini bukan gagasan atau ide yang baru. Pada tahun 2014 era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, DPR-RI dan Pemerintah mengesahkan UU 22/2014 yang mengembalikan proses pilkada ke DPRD. Walaupun ini dibatalkan dengan mengeluarkan Perppu 1/2014 yang mengembalikan proses pilkada kembali dilakukan langsung oleh rakyat.

Selama kurun waktu 18 tahun Pilkada secara langsung telah beberapa kali perubahan undang-undang tentang Pilkada itu sendiri. Sejak pertama kali dilaksanakan di era Presiden SBY tahun 2005, Pilkada secara langsung atau rakyat menentukan calon pilihannya sendiri. Karena sebelumnya selama 60 sejak Indonesia merdeka, proses pilkada dilakukan secara eksklusif oleh lembaga legislatif daerah atau DPRD. Ini menjadi tonggak sejarah, karena pertama kalinya kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyatnya. Sebenarnya Pilkada  bergerak secara dinamis, sesuai zamannya. Pilkada di Indonesia  mengalami perubahan dari masa ke masa.  Mulai diangkat  oleh presiden, dipilih oleh DPRD, sampai dipilih langsung oleh rakyat. Tentunya berdasar dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di era reformasi pasca lahirnya UU No. 22 tahun 1999 terbit juga UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini memberikan perubahan yang sangat  besar, yaitu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan (pasal 24 ayat 5). UU No. 32 Tahun 2004.
Dipertegaskan dengan diterbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (PEMILU).
Setelah itu terbitlah UU No. 22 tahun 2014  tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. UU ini dapat dikatakan sebagai koreksi atas  UU No. 32 Tahun 2004. UU ini memberi kewenangan kembali kepada DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan wakilnya.

Terbitnya UU No. 22 tahun 2014 ini mendapat pertentangan dari berbagai pihak, yang menginginkan Pilkada tetap digelar  secara langsung, membuat UU tersebut dicabut.
Dengan dicabutnya UU tersebut  dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-Undang  (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan  Wali Kota. Perpu tersebut di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo disahkan menjadi  UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan  Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan  Wali Kota menjadi Undang-Undang. Dengan gambar yang dijelaskan, mengembalikan kembali pemilihan Kepala Daerah dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebagaimana pasal 1 ayat 1 UU No.1 Tahun 2015 yang menyatakan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota  yang selanjutnya disebut pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Wali Kota secara demokratis.

Terbit perubahan aturan baru tentang Pilkada dengan dikeluarkannya UU No 10 Tahun 2016.  Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2020. Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Terbit lagi yang baru UU No. 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Dari rangkaian penjelasan diatas penulis mengajak kita untuk mencermati dari proses penyelenggaraan Pilkada secara langsung selama 18 tahun dan kini telah memasuki tahapan persiapan penyelenggara Pilkada secara serentak pada tahun 2024. Apakah sisi positif lebih banyak manfaatnya atau sisi negatif selama perhelatan Pilkada langsung dilaksanakan banyak mudaratnya dengan kondisi kesiapan masyarakat dan pelaku politik di Indonesia untuk kepentingan mensejahterakan masyarakat Indonesia.

Sisi positif selama pelalsanaan Pilkada langsung. Memberikan warna baru yang dimulai dari era reformasi pada tahun 2005. Sebab selama 60 tahun sejak Indonesia merdeka kepala daerah dipilih oleh pemerintah pusat dan melalui mekanisme DPRD. Menunjukkan kekuasaan ada ditangan rakyat.
Pemilihan kepala daerah secara langsung memunculkan ruang bagi calon perorangan. Tidak hanya calon kepala daerah dari kalangan partai politik atau atas dukungan serta usulan partai politik. Secara legitimasi terpilihnya kepala daerah sangat kuat karena terpilih secara langsung oleh rakyat melalui proses demokrasi.

Dampak secara ekonomi masyarakat sangat kecil. Karena penambahan pendapat sebagian kecil dari masyarakat selama proses tahapan penyelenggaraan Pilkada berlangsung seperti mendapatkan honor menjadi anggota KPPS, PPS. Penyelenggara pemilihan yang lain, pelaku usaha atribut kampanye sedikit mendapatkan tambahan pendapatan, saksi calon, dan pasangan makan kecil selama kampanye, ini meningkatkan sedikit pendapatan masyarakat dan meningkatkan juga daya beli masyarakat dengan sedikit tambahan peredaran uang bagi masyarakat. Tapi ini sangat singkat.
Dengan Pilkada langsung, tak hanya memilih masyarakat juga dapat mengkritik dan melakukan pengawasan secara langsung terhadap pemimpin yang mereka pilih.
Dampak Negatif Pilkada secara langsung
Negara mengeluarkan anggaran Pilkada langsung melalui APBN yang ditransfer ke APBD butuh ratusan trilyun rupiah. Dengan asumsi jumlah kabupaten 416 dan 98 kota serta 34 provinsi di Indonesia. Ini sangat membebani keuangan negara, karena dana pelaksanaan Pilkada langsung sangat tinggi. Untuk anggaran Kpu, Bawaslu, anggaran pengamanan selama proses tahapan Pilkada dilaksanakan.

Kentalnya politik identitas selama pelaksanan Pilkada secara langsung diberbagai daerah. Politisasi identitas agama dan etnis minoritas dianggap efektif bagi para kandidat untuk memperoleh dukungan dari masyarakat beragama dan etnis mayoritas. Praktik politisasi identitas senantiasa muncul pada tahun politik. Permasalahan praktik politisasi identitas pada Pilkada di Indonesia patut dicermati, karena praktik tersebut berpotensi mengarah pada dampak yang berlawanan dengan tujuan demokrasi dan menjurus pada perpecahan yang menyebabkan terjadinya instabilitas politik dan disintegrasi bangsa Indonesia. Biaya yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah sangat tinggi, ini bukan rahasia umum. Karena sebagaian besar masyarakat kita masih sebagai pemilih transaksional. Ini dugaan yang dimanfaatkan calon Pilkada untuk melakukan money politik, belum lagi dugaan mahar politik. Ketika terpilih rawan sekali untuk melakukan praktik korupsi dengan menggerogoti keuangan daerah. Sehingga sering terdengar diberita kepala daerah ditangkap KPK atau elit capture.

Profesionalitas ASN terhambat, karena bukan rahasia lagi jika bongkar pasang pejabat dilingkungan daerah ketika pergantian pimpinan terpilih. Walaupun ASN diatur oleh UU tidak boleh terlibat langsung dalam politik. Dugaan mau jabatan harus ikut andil dalam perjuangan kemenangan calon. Tapi dugaan Secara langsung atau sembunyi-sembunyi banyak oknum ASN telah menjadi bagian tim sukses politik para calon kepala daerah. Timbulnya diskriminasi pelayanan, pengkotak-kotakan ASN, konflik kepentingan, dan ASN menjadi tidak profesional lagi dalam menjalankan tugasnya sebagai aparatur yang peran dan fungsinya sebagai alat pemersatu, pelayan, penyelenggara pemerintahan.
Dengan Pilkada langsung sering terjadi di beberapa daerah masyarakat menjadi terkotak-kotak, disebabkan politik saling dukung calon Pilkada satu sama lain. Pergesekan antara pendukung calon sering timbul kerusuhan. daerah yang akan melaksanakan pilkada tingkat kerawanannya sangat tinggi. Dari berbagai pengalaman dalam pelaksanaan selama pilkada, memang sering kali menimbulkan kerawanan akibat para pihak berupaya dengan segala cara untuk menjadi pemenang, Visi Misi Calon Pilkada yang dituangkan dalam satu lampiran syarat kelengkapan sebagai Bakal calon Pilkada banyak tak terkonsep dan sejalan serta selaras dengan visi Misi nasional. Visi Misi calon Pilkada juga tak melakukan penyesuaian dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Daerah RPJM/PD.

Contoh Kabupaten Musi Rawas di era kepemimpinan Ridwan Mukti dengan slogan Agropolitan Center dan dilanjutkan dengan konsep Musi Rawas Darussalam yang telah mengeluarkan dana APBD sangat besar yang tertuang dalam RPJMPD Musi Rawas yang dijadikan Perda sebagai landasan pembangunan Musi rawas berkelanjutan. Tapi era Hendra Gunawan mengusung konsep lain dengan slogan Musi rawas sempurna dan hanya 5.tahun, pergantian kepala daerah yang dipimpin Ratna Machmud, Orientasi berubah lagi di slogan Musi Rawas Mantab. Yang terjadi selama ini tidak adanya linearitas program atau visi misi dari pemimpin terpilih sekarang dengan pemimpin yang terdahulu. Ada hubungan timbal balik ketika calon Pilkada memenangkan pemilihan. Kelompok Kepentingan Dalam Mengisi Jabatan Publik Setelah Menjadi Tim Sukses Pilkada yang lebih mendalam terhadap hubungan timbal balik antara tokoh politik dan marketing politik sebagai tim sukses.

Politik pencitraan, yang memaksa sesuatu kegiatan atau program harus dianggap berhasil. Seperti yang terjadi pada Bupati Bogor Ade Yasin memerintah Stafnya untuk melakukan dugaan suap terhadap oknum BPK agar dapat pengelolaan keuangan daerah yang baik.

Dengan perbandingan sisi positif dan negatif dengan mempertimbangkan asas manfaat yang besar atau mudaratnya yang lebih banyak dari rangkuman diatasi. Perlu dilakukan kajian ulang bagi pemerintah dan DPR untuk menunaikan kembali relevansi dari Pilkada secara langsung dengan kondisi bangsa saat ini.
Semestinya Pilkada langsung yang menghasilkan kepala daerah terpilih mampu menunjukkan keberhasilannya dengan memimpin pembangunan daerah yang berorientasi bagi pelayanan public terutama pelayanan dasar dan pelayanan umum.
Dilihat Dari Sisi Positif Dan Negatif, Selama 18 Tahun Pilkada Di Indonesia, Masih Relevankah Dilakukan Secara Langaung ?

Check Also

HRW Sampaikan Visi-Misi Dihadapan Pengurus DPW Nasdem Sumsel ; Partai Mitra Strategis Dalam Membangun Daerah

  PALEMBANG, PETISI RAKYAT |H. Ristanto Wahyudi (HRW)memenuhi panggilan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *