Potret Etik Penyelenggara Negara di Indonesia

(belajar dari putusan DKPP Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari)


Abdusy Syakir

“Dalam demokrasi, transisi kekuasaan sebuah keharusan dan penting,
akan tetapi jauh lebih penting dari itu adalah
menjaga marwah dan kehormatan Penyelenggara Pemilu
agar tetap ber-integritas dan independen”

PENDAHULUAN
Helatan Pemilu Legislatif (Pileg 2024) dan Pemilihan Presiden Wakil Presiden pada 4 April 2024 telah usai dengan telah terpilih para legislator baik tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat yang saat ini hanya tinggal menunggu jadwal pelantikan, pun demikian juga terhadap terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden baru, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka periode 2024-2029.

Meski perhelatan tersebut telah usai akan tetapi masih meninggalkan berbagai persoalan wabil khusus terkait dengan dugaan pelanggaran etik Penyelenggara Pemilu, terbaru yang menjadi sorotan publik yakni Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari jatuhi sanksi pemberhentian tetap sebagai Ketua merangkap anggota oleh Majelis Pemeriksa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berdasarkan putusan Nomor : 90/PKE-DKPP/V/2024 yang dibacakan pada Rabu 3 Juli 2024. Putusan Nomor : 90/PKE-DKPP/V/2024 tersebut diajukan oleh Pengadu atas nama Cindra Aditi Tejakinkin (CAT) dalam kedudukan sebagai Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Denn Haag Belanda pada Pemilu tahun 2024 lalu, yang dikuasakan oleh para Advokat pada Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa (LKBHPPS) Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

DEFENISI PENYELENGGARA NEGARA
Sejatinya pilihan kata pada judul diatas tidaklah dimaksud untuk men-generalisir ataupun men-judge bahwa semua Penyelenggara Negara di Indonesia sama…tentu tidak, namun dimaksudkan untuk lebih memberikan sebuah catatan sekaligus kritisi bagi para Penyelengggara Negara sebagai pemegang amanah untuk tetap komitmen dan mendedikasikan serta bekerja tulus dengan meletakkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan dalam bingkai moral dan etika.

Terminologi Penyelenggara Negara terdapat di berbagai literatur peraturan perundang-undangan antara lain merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dimana yang dimaksud Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan

penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan defenisi tersebut kualifikasi Penyelengara Negara sebagai Pejabat Negara berdasarkan ketentuan Pasal 2 meliputi antara lain :Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara Menteri, Gubernur,Hakim, Pejabat Negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lantas jika merujuk pada defenisi diatas, apakah seseorang yang menjadi anggota atau komisioner suatu lembaga seperti KPK, KPU, Bawaslu atau Mahkamah Konstitusi dapat dikualifikasi sebagai Pejabat Negara sebagaimana dimaksud Pasal 2 diatas ? jawabannya adalah BISA karena kapasitas orang pada lembaga tersebut termasuk kualifikasi sebagimana bunyi Pasal 2 angka 6. Sebagai contoh Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) termasuk Pejabat Negara merujuk pada Pasal 1 angka 3 UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2003 Tentang Komisi Pemberantasam Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai Undang-undang ini. Selain itu Hakim pada Mahkamah Konstitusi (MK) dikualifikasi sebagai Pejabat Negara karena merupakan Pejabat Negara yang menyelenggarakan fungsi yudikatif dengan berlandaskan pada Pasal 24 C Bab IX Kekuasaan Kehakiman UUD 1945 dan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah mengalami beberapa kali perubahan, hal demikianpun berlaku juga bagi KPU, Bawaslu, DKPP yang merupakan Penyelenggara Negara yang menyelenggarakan Pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.7 tahun 2017 Tentang Pemilu yang telah beberapa kali mengalami perubahan.

JEJAK ETIK PENYELENGGARA NEGARA
Sebagai salah satu cabang filsafat , etika atau ethics bicara tentang perilaku benar (right) dan baik (good) dalam hidup manusia. Filsafat etik tidak hanya bicara tentang benar dan salah selayaknya filsafat hukum namun lebih pada problem baik dan buruk. Etika pemerintahan atau government ethics itu berkenaan dengan kode perilaku professional dilingkungan jabatan dan tugas Penyelenggara Negara yang tidak hanya merujuk pada rumpun kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif saja namun lebih luas dari itu. Dalam konteks negara hukum Pancasila, fungsi-fungsi negara tidak hanya menegakkan hukum, menegakkan moralitas tetapi juga masyarakat (termasuk keadilan substantif). Sebab kandungan Pancasila, adalah percaya terhadap Tuhan dan humanism. (Butt & Lindsey, 2008).

Menyusuri rekam jejak berkenaan dengan problem etik Penyelenggara Negara (Pejabat Negara), setidaknya ada beberapa contoh antara lain yakni :
Ketua KPK Firli Bahuri
Firli Bahuri adalah Ketua KPK ke 6 yang menggantikan Agus Rahardjo merupakan purnawirawan berpangkat terakhir Komisaris Jenderal (Komjend) dengan berbagai penugasan dan jabatan strategis yang pernah diemban antara lain Kabaharkam, Kapolda Sumsel, Kapolda NTB Wakapolda Jateng dan Banten termasuk pernah sebagai ajudan Wapres Boediono. Ia terpilih dan dilantik sebagai pimpinan KPK bersama Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango dan Nurul Ghufron berdasarkan Keputusan Presiden Nomor : 112/P Tahun 2019 dan Nomor 129/P Tahun 2019 tentang Pengangkatan Pimpinan KPK periode 2019-2023.

Merujuk pada Tempo.co selama menjabat Ketua KPK, tercatat beberapa kontroversi yang terkait Firli Bahuri antara lain : menjemput saksi Bahrullah Akbar yang hendak diperiksa (saat menjadi Deputi Penindakan KPK), pertemuan dengan Tuan Guru Bajang (TGB), penggunaan helikopter saat pulang ke kampung halamannya, pertemuan dengan Gubernur Papua, Lukas Enembe, pembocoran dokumen penyelidikan, polemik pemberhentian Brigjen Endar Priantoro (Direktur Penyelidikan KPK).

Berbagai kontroversi Firli Bahuri di KPK lalu berujung pada pemberhentian sebagai Ketua dan komisioner KPK setelah sebelumnya ditetapkan sebagai Tersangka oleh Polda Metro Jaya atas dugaan pemerasan mantan Menteri Pertanian Syahril Yasin Limpo, meskipun saat proses pemeriksaan kode etik yang bersangkutan mengajukan pengunduran diri. Dalam kontek pelanggaran etik yang dilakukan antara lain : mengadakan hubungan langsung dan tidak langsung dengan pihak lain yang ada kaitannya dengan perkara yang ditangani KPK, tidak melaporkan ke sesama pimpinan KPK terkait pertemuan dengan SYL di GOR Tangki Mangga Besar, tidak melaporkan soal harta kekayaaan. Dalam putusannya Majelis Sidang Etik Dewan Pengawas KPK pada pokoknya berpendapat Firli Bahuri terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2021 sehingga dikenakan sanksi yakni sanksi ringan, sedang dan berat. Atas putusan tersebut maka Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 129/P Tahun 2023 Tentang Pemberhentian Firli Bahuri sebagai Ketua KPK merangkap anggota masa jabatan 2019-2024 tanggal 28 Desember 2023.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman
Sebagai salah satu lembaga Negara yang melaksanakan kekuasaan pada rumpun yudikatif (kekuasaan kehakiman) yang bersifat merdeka demi tegaknya hukum dan keadilan, Mahkamah Konstitusi (MK) tak luput dari “Prahara etik” setidaknya jika berkaca pada kasus Ketua MK Akil Mochtar berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) No.011/MKMK/XI/2013 karena terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dengan sanksi Pemberhentian Dengan Tidak Hormat meliputi antara lain penyuapan dan TPPU pada sengketa Kepala Daerah. Jejak Akil Mochtar diikuti oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang dijatuhi sanksi etik berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) No. 1/MKMK-SPL/II/2017 berupa Pemberhentian Dengan Tidak Hormat, karena terbukti melakukan perbuatan tercela berat bertemu dan/atau membahas mengenai perkara yang sedang ditangani dengan pihak yang berkepentingan baik langsung atau tidak langsung diluar persidangan serta membocorkan informasi dan draft putusan MK yang bersifat rahasia.

“Prahara etik” di Mahkamah Konstitusi (MK) kembali terulang medio 2023 dimana Anwar Usman dijatuhi sanksi pemberhentian tetap dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) akibat dari lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres dan cawapres tanggal 16 Oktober 2023 berkenaan dengan pengujian ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pada pokoknya putusan tersebut mengabulkan sebagian dari permohonan Pemohon diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru dari Universitas Surakarta (Unes), dimana seseorang yang belum mencapai usia 40 tahun dapat menjadi Capres dan Cawapres dengan syarat memiliki pengalaman sebagai Kepala Daerah atau Pejabat yang dipilih melalui Pemilu. Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menimbulkan kontroversi dan perdebatan di berbagai kalangan, selain dianggap kontroversi dalam konteks prosedur pengajuan yang tidak lazim juga kontroversi pada substansi dan pertimbangan putusan serta diwarnai dengan adanya Dissenting Opinion (pendapat berbeda) karena dianggap merusak pondasi sistem ketatanegaraan kita. Pun oleh sebagian besar masyarakat putusan tersebut dianggap memberikan karpet merah bagi putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dalam memenuhi persyaratan sebagai salah satu calon pasangan wakil Presiden dalam Pilpres 2024 mendampingi Prabowo Subianto. Gelombang protes dan mosi tidak percaya terhadap putusan Judicial Review dimaksud melahirkan istilah “anak haram konstitusi”, juga harus dibayar mahal dengan adanya sanksi pemberhentian tetap Anwar Usman dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2/MKMK/L/11/2023 yang diucapkan pada Selasa 7 November 2023 di Ruang Pleno Gedung I MK yang di ketuai Prof Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih dan Wahiddudin Adams sebagai anggota berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Pasca putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres dan cawapres setidaknya MKMK menerima lebih kurang 21 (dua puluh satu) laporan dugaan pelanggaran etik dan perilaku Hakim Konstitusi oleh berbagai kelompok masyarakat yang peduli dan prihatin atas kondisi Mahkamah Konstitusi saat itu sekaligus manifestasi kecintaan terhadap kewibawaan Mahkamah Konstitusi yang perlahan mulai pulih pasca kasus Ketua Mahkamah Konstitusi sebelumnya Akil Muchtar. Merujuk pada putusan Nomor 2/MKMK/L/11/2023 dengan Terlapor Anwar Usman setidaknya terdapat 5 (lima) prinsip Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang dilanggar yakni Prinsip Ketidakberpihakan, Integritas, Kecakapan dan Keseksamaan, Independensi, Kepantasan dan Kesopanan. Selain sanksi pemberhentian tetap Terlapor Anwar Usman juga dikenakan sanksi tidak berhak mencalonkan atau dicalonkan menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi sampai berakhirnya masa jabatannya sebagai Hakim Konstitusi serta tidak diperkenankan terlibat atau melibtakn diri dalam mengambil keputusan terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) baik Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR/DPD/DPRD, Gubernur/Bupati/Walikota yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict interest). Putusan MKMK inipun tidak bulat dengan adanya dissenting opinion Bintan Saragih yang pada prinsipnya menghendaki pemberhentian tidak dengan hormat Anwar Usman dari jabatan Hakim Konstitusi karena dinilai terbukti melakukan pelanggaran etik berat.

Ketua KPU Hasyim Asy’ari
Mengutip dari laman Wikipedia, sebelum menjadi Ketua KPU RI pada April 2022 lalu, Hasyim Asy’ari merupakan dosen pada jurusan HTN Fakultas Hukum Undip serta mengajar diberbagai kampus, selain mengajar juga pernah aktif pada berbagai ormas sosial kemasyarakatan antara lain PD MUI Jawa Tengah, Wakil Ketua Departemen Pengembangan SDM Lazis IPHI Jawa Tengah 2009-2014, Wakil Ketua PW Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Tengah 2010-2014 dan Kepala Satkorwil Banser NU Jawa Tengah periode 2014-2018. Dalam kepemiluan mengawali karir sebagai Sekretaris Presidium Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kabupaten Kudus tahun 1999 dan pada 2003 terpilih sebagai anggota KPU Jawa Tengah hingga 2008, sebelum menjadi Ketua KPU RI periode 2022-2027 yang bersangkutan merupakan anggota KPU RI sejak 2016.

Setelah menyelesaikan tugas dan tanggungjawab besar dalam pelaksanaan Pileg dan Pilpres 2024, Hasyim Asy’ari dijatuhi sanksi etik berupa Pemberhentian Tetap sebagai Ketua dan Anggota KPU RI sebagaimana putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 90-PKE-DKPP/V/2024 tanggal 3 Juli 2024 berdasarkan Pengaduan atas nama Pengadu Cindra Aditi Tejakinkin dalam kapasitas sebagai Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag Belanda. Pengaduan etik Pengadu tersebut dikuasakan pada para Advokat pada Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa (LKBHPPS) Fakultas Hukum Universitas Indonesia karena terbukti melakukan pelanggaran berat Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu terhadap diri Pengadu antara lain terkait dengan tindakan asusila. Sebelum dijatuhi sanksi Pemberhentian Tetap, jika flash back ke belakang mengutip berbagai pemberitaan media massa (Kompas.com), setidaknya terdapat beberapa sanksi etik yang pernah dijatuhi terhadap Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari antara lain :
Terkait dugaan kebocoran pada data pemilih pada Sidalih KPU RI tahun 2023 dan dikenakan sanksi peringatan bersama Komisioner lainnya karena dinilai melakukan pelanggaran etik dan pedoman Penyelenggara Pemilu
Terbukti melakukan perjalanan dengan Hasnaeni yang dijuluki “Wanita Emas” karena melakukan perjalanan pribadi dari Jakarta ke Jogja pada 14-19 Agustus 2022 untuk berziarah ke sejumlah tempat, dengan sanksi peringatan keras terakhir
Terkait dengan regulasi jumlah Caleg atau keterwakilan Caleg perempuan 30 % sebagaimana mandate UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan dikenakan sanksi Peringatan Keras dan sanksi berupa peringatan terhadap Komisioner lainnya
Dugaan pelanggaran etik dimana memproses pencalonan Gibran Rakbuming Raka sebagai calon Wapres tanpa mengubah PKPU, dikenakan sanksi peringatan keras terakhir termasuk Komisioner lainnya
Terkait pencalonan Irman Gusman sebagai calon DPD dapil Sumatera Barat pada Pileg 2024 lalu dan dikenakan sanksi berupa peringatan keras bersama Komisioner lainnya.
Namun dalam konteks kelembagaan Penyelenggara Negara khususnya Pemilu tidak hanya hanya Hasyim yang dijatuhi sanksi berupa Pemberhentian Tetap sebagai Ketua KPU, sebelumnya pada Januari 2021, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pernah menjatuhkan sanksi serupa terhadap Arief Budiman dalam perkara No.123-PKE-DKPP/X/2020 yang lalu karena dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.

SOLUSI PELANGGARAN ETIK PENYELENGGARA NEGARA
Merebaknya kasus pelanggaran etik dikalangan Penyelenggara Negara tentu sudah sepatutnya mendapatkan perhatian serius bagi pemangku kepentingan antara lain dengan mulai mencari formulasi apa yang tepat guna meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi sembari me-mitigasi peningkatan jumlah pelangggaran. Pada titik ini mengutip hasil penelitian Mukhtar, Tanto Lailam FH UMY Yogyakarta, 2021 yang berjudul Problem Etika Pejabat Negara dan Gagasan Peradilan Etik yang Independen dan Imparsial, setidaknya solusi yang dapat ditempuh antara lain yakni melakukan reformasi penegakkan etika melalui re-formulasi kelembagaan etik pada lembaga Negara berupa pembentukan peradilan etik yang memiliki kewenangan yang luas dan setara dengan peradilan umum yang bersifat independen dan imparsial. Meskipun solusi dimaksud menurut Prof. Susi Dwi Harjanti (2015), keberadaan lembaga penegakkan etik tidak serta merta mampu meningkatkan moralitas para Pejabat Negara (Publik) karena hukun terkadang seringkali dibenturkan dengan moral dan lemahnya kesadaran dan keikutsertaan partai politik dalam penegakan etika dan kurang efektifnya lembaga penegak kode etik, hal senada juga dirasakan oleh Prof Jimly, karena sebagian besar lembaga penegak kode etik masih bersifat pro-forma, tidak memiliki kedudukan yang independen muaranya kinerja lembaga dimaksud dirasakan tidak efektif.

PENUTUP
Pada akhir tulisan ini, kiranya tak berlebihan ungkapan mantan Menkopolhukam Mahfud MD menanggapi sanksi etik atas putusan etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 90-PKE-DKPP/V/2024 tanggal 3 Juli 2024 terhadap teradu Hasyim Asy’ari. Mantan Cawapres pada Pilpres 2024 lalu dengan gamblang menyatakan secara umum KPU (merujuk Komisioner KPU RI) kini tidak layak menjadi Penyelenggara Pilkada sementara momentum ini tentu sangat penting bagi masa depan Indonesia, sehingga dirasa perlu adanya pergantian semua komisioner KPU. Disisi lain sebuah keniscayaan jika kita berharap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dapat terintegrasi serta menjadi bagian dari cerminan masyarakat Indonesia sepanjang para Penyelenggara Negara selalu mempertontonkan praktek moralitas dan etika yang rendah, pomeo Guru kencing berdiri murid kencing berlari sejatinya relevan dengan kondisi saat ini.

Penggiat pada Komunitas Marjinal, Volunter LBH Narendradhipa dan RM Institute

 

Check Also

Jhon Kenedy : Pernyataan Ketua PB HMI Untuk Isolasi Alex Noerdin Salah Alamat dan Tendensius

PALEMBANG, PETISI RAKYAT | Opini yang disampaikan Ketua Bidang Politik PB HMI Bambang Irawan terkait …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *